Jumat, 08 Juli 2011

Biarkan Angin Tetap Ada

Bila esok tak lagi ku sambut mentari pagi
Bila esok tak lagi ku jemput langit berseri
Dan bila esok tak lagi ku temui pelangi
Mungkin aku telah pergi
Tak kembali
Tapi ingatlah satu hal yang pasti
Angin kan tetap ada disini
Menemani hari-hari bumi
Bersemayam di hati
•••●○●•••
Ruangan ini semakin ku rasakan pengap. Tak nyaman lagi. Entah karena aku bosan terlalu lama disini sendiri. Atau lebih karena wangi obat-obatan dan cairan alcohol yang begitu menyengat hidung. Atau mungkin karena aku merasakan kelelahan yang teramat sangat dengan pikiranku sendiri ketika ingin membenamkan berbagai peristiwa yang ku alami hari ini dalam ingatanku yang tak sempurna.

“Terkadang aku takut memejamkan mata di malam hari. Aku takut bila terbangun di esok pagi, aku mendapati kenyataan-kenyataan yang begitu asing bagiku.” Lirihku sambil menatap nanar sosok bayangan yang terpantul di kaca.

Tampaknya malam ini hujan akan kembali menyapa. Langit begitu hitam pekat. Tak satu pun bintang bermunculan disana. Bulan pun tak hadir. Awan mendung rata merajai di angkasa. Huft…

Ku raih sebuah buku bersampul biru yang tergeletak di atas meja kecil disamping ranjang. Lembar demi lembar ku buka perlahan. Mencoba tuk resapi deretan kata-kata yang tertulis di atasnya. Tinta warna hitam yang menghias kertas putih itu tertata rapih. Teratur. Mataku terpaku pada lembar ketiga di buku itu. Tertanggal 22 Januari 2011

… Sore tadi aku jalan-jalan di taman. Suster Nay yang biasa menjagaku, tidak menemaniku. Ia harus menghadap dr. Syafa untuk melaporkan catatan medisku. Dan jadilah aku sendiri, duduk di taman sepi menikmati matahari yang perlahan menghilang di balik rimbun pohon flamboyan. Tadinya ku pikir akan bosan melewati waktu senja sendiri. Namun ternyata aku salah. Aku justru bertemu dengan seseorang. Kaze,namanya…

•••●○●•••

“Hai gadis manis. Sedang apa kau disini?” suaranya terdengar begitu renyah.

“Aku sedang menunggu.” Jawabku tanpa mengalihkan pandangan.

“Menunggu waktu senja berakhir?” Sontak pertanyaan itu mengagetkanku.

“Bagaimana aku tahu tentang itu?” Ku tatap sesosok lelaki yang sedari tadi duduk di sampingku.

“Karena itu juga yang sering ku lakukan.” Ia tersenyum.

Sejenak kuperhatikan senyum yang mengembang di bibirnya. Matanya cokelat bulat memiliki sorot tajam, namun menedukan.

“Rasanya aku mengenal lelaki ini” Seruku dalam hati. Tapi siapa dia? Dimana kau mengenalnya? Kapan? Lalu muncullah pertanyan beruntun dalam otakku.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa tak asing denganmu.” Ragu aku mengungkapkannya.

“Hmm… mungkin pernah. Suatu waktu.” Jawabnya dengan tenang. “Siapa namamu?”

“Aku, Angin. Orang-orang memanggilku Angin.” Sahutku penuh semangat. “Kamu siapa?”

Dia kembali tersenyum. “Seperti namamu, kau angin yang menyejukkan. Panggil aku Kaze.”

•••●○●••• 

Tetes-tetes embun masih menempel di kaca, saat ku buka tirai penutup jendela. Aroma wangi tanah yang bercampur sisa rembesan air hujan semalam langsung memenuhi rongga dada, begitu ku geser sebuah pintu yang terbuat dari kaca itu. Hujan memang selalu meninggalkan jejak khas disetiap kehadirannya. Dan aku selalu menyukai itu. Aku selalu mencoba menafsirkan bekas tanda yang diisyaratkannya.

“Kurasa hujan semalam ingin mengabarkan berita baik tentang hati ini.” Ucapku riang.

Fajar terlihat malu-malu menampakkan dirinya. Bersembunyi di gumpalan kabut pagi hari. Seperti enggan menyapa penghuni bumi yang siap menapaki tiap helai-helai baru di waktu yang menyambut. Berbeda dengan hawa angin saat ini. Sejuk. Lembut. Menyemangati hari.

Waktu telah menunjukkan pukul 05.15. namun langit masih terlihat gelap.

“Meski semua yang ku hadapi tampak asing di memoriku, tapi aku tahu satu hal. Sudut ini lah yang selama ini membantu ku mengingat apa yang selalu aku rasa saat mengagumi pesona semesta.” Gumamku sendiri.

Purnama diwaktu subuh menggantung dengan indah di ufuk timur. Dengan santainya dia bertengger di bingkai kelam bersama satu bintang yang terang. Nuansa sunyi balkon tempat aku bediri saat ini mendukung pagelaran alam yang menakjubkan. Tak tergantikan.

•••●○●•••

Hingga akhirnya matahari merajai puncak singgahsananya, aku masih betah sendiri. Duduk si sebuah kursi yang terbuat dari anyaman rotan. Angin yang membelai pori-pori kulit menerbangkan debu peluh ke wajah, menyadarkanku. Kosong.

Ternyata, tak banyak perubahan berarti yang terjadi padaku. Justru aku semakin merasa tak mengenali apapun yang terjadi di sekitarku. Aku bahkan sering bertanya pada diriku sendiri, “Untuk apa aku berada disini?”

Ya. Pertanyaan itu kadang muncul begitu saja. Melintas dalam benakku ketika tak ada satu pun yang ku pikirkan. Dan ketika itu terjadi, otakku seperti mencoba membongkar puluhan ribu dokumen yang tertumpuk di dalamnya.

Butuh beberapa lamanya untukku temukan jawabannya. Entah mengapa aku begitu kesulitan saat melakukannya. Mencari sebuah alasan dari lembar-lembar masa lalu yang menyebabkanku tampak seperti orang asing disini. Tempat yang menurutku terlalu aneh untuk dijadikan sebagai hunian yang nyaman dengan aroma khas zat-zat kimia yang menyengat di setiap sudutnya.

Lalu saat semuanya menjadi jelas dihadapanku. Seperti cahaya lilin di tengah-tengah sebuah ruangan yang gelap. Meski temaram, tapi cukup memberi penerangan. Itupun yang ku rasa. Hanya tersenyum getir yang dapat ku lakukan untuk sebuah keberhasilan memecahkan pertanyaan klise itu.

Karena suatu hal aku berada disini. Karena sesuatu yanag mungkin tak banyak orang mengalaminya. terdapat masalah dalam system sarafku yang dikenal dengan nama Alzaimer.

•••●○●•••
Ini kelima kalinya aku melewati suasana sore dengan Kaze di taman rumah-ku ini. Sejak pertemuan pertama kali yang terjadi 2 pekan yang lalu. Seingatku itu adalah senja yang penuh kejutan. Berawal dari kemunculannya secara tiba-tiba. Lalu tentang kebiasaanku setiap matahari akan tenggelam yang ternyata Kaze juga suka melakukan itu. Kemudian berlanjut dengan perbincangan hangat yang mengalir begitu saja. Seakan kami telah mengenal satu sama lain sebelumnya.

Aku semakin merasa yakin bahwa kami pernah bertemu, dulu. Tapi, aku sama sekali tak bisa mengingatnya juga, seberapapun kerasnya aku mencoba mengingat, tak ada hasil yang memuaskan. Selalu percuma.

Aku kembali melontarkan pertanyaan yang sama seperti diawal kami bertemu. “Aku sungguh merasa tak asing denganmu. Apakah dulu kita pernah saling mengenal sebelumnya?”

Kaze hanya tersenyum.

Aku bingung. Aku sangat yakin bahwa aku pernah dekat dengannya. Namun, sekali lagi. Keyakinan itu tak cukup mampu tuk membuka ingatanku yang tersumbat. Aku semakin bertambah heran, ketika Kaze dengan santainya menceritakan semua hal yang dia ketahui tentangku. Bahkan kebiasaanku menatap langit saat pagi hari pun sepertinya sudah berada di luar kepalanya.

“Siapa kau sebenarnya, Kaze?” Aku larut dalam duniaku sendiri. Semakin lama. Semakin dalam. Hingga lantunan sebuah syair yang dinyanyikan Kaze membuyarkan lamunanku.

sebuah kisah yang terlahir. Bolehlah ku ingat-ingat. Saat kita bersama… bercanda tertawa…

Syair itu… sepertinya aku mengenal syair itu. Tapi…??

Tanpa menghiraukan keterkejutanku akan hal yang baru saja ku dengar, Kaze tetap melanjutkan memetik gitarnya dan asyik bersenandung dengan lagu yang sangat familiar di telingaku.

Begitu banyak cerita ku ingin akhir bahagia. Walaupun esok nanti….” Sejenak Kaze menghentikan jarinya bermain dengan gitarnya. Hening.

Ku berdoa semoga kita kan bersama…” Refleks aku melanjutkan syair lagu yang terhenti itu. Meluncur begitu saja. Tanpa ada proses berfikir sebelumnya. Seolah-olah aku mengerti itu bait yang harus ku nyanyikan.

Namun bukan hanya aku yang shock akan situasi yang tengah terjadi. Kaze pun tak kalah kaget.

“Kau ingat lagu itu?” Gurat di wajahnya Nampak tak percaya.

“Aku hanya merasa lagu itu seperti sudah melekat erat di benakku.” Jawabku singkat.

Kami pun lalu bersama-sama menyanyikan lagu itu kembali. Menyenangkan. Itu yang ku rasa.

•••●○●•••

Semuanya seolah bisa ku ingat seketika. Semuanya. Kenangan-kenangan tentang kisah ku dulu sebelum aku di vonis mengidap penyakit ingatan ini. Aku terpukul saat perlahan memori itu terulang dalam otakku seperti sebuah film dokumenter yang di putar ulang.

Adalah sebuah liontin yang berinisial DA yang ku temukan tersimpan di laci, yang mengingatkanku.. kalung cantik itu yang pernah ku miliki. Hadiah ulang tahunku yang ke-15. Pemberian Kaze. Lalu aku seakan keluar dari gulita. Cahaya benderang terangi ingatanku yang gelap.

Tentang ketidakmampuanku menyimpan memori di otak. Tentang frustasiku menerima kenyataan ini, hingga meninggalkan satu-satunya orang yang ku miliki, kakak kandungku yang tak lain adalah Kaze.

Belum usai keterkejutanku akan kembalinya kumpulan data yang menyimpan cerita masa laluku, seseorang masuk ke kamarku. Terengah-engah dia berbicara, “Angin. Ka…Kaze. Dia…Kaze meninggal.”

Sontak, liontin yang berada dalam genggamanku terjatuh ke lantai menimbulkan suara gemerincing.

Kemudian mengalirlah kronologis sebuah kecelakaan dini hari kemarin. Yang terjadi di persimpangan jalan di depan gedung berlantai 4 ini. Kecelakaan antara sebuah minibus dengan sepeda motor. Pengemudi sepeda motor itu tak lain adalah Kaze, terluka sangat parah.

“Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Kaze menitipkan surat ini untukmu.” Seseorang berseragam putih-putih itu menyerahkan sebuah amplop berwarna jingga padaku.

Tanganku gemetar menerimanya. Ku buka lalu ku baca surat itu.

 Angin lembutku yang manis -Diandra Aditya-
Di hari ini, hari yang selalu kau nanti (semoga kau mengingatnya) aku ingin memberimu sesuatu yang dulu sangat kau inginkan. Maafkan aku yang baru bisa menyelesaikannya sekarang. Semoga kau tersenyum senang dengan hadiah ini.
Kaze yang selalu ada bersamamu –Damara Aditya-
•••●○●•••

Tiga hari belakangan hujan terus mengguyur bumi dari langit senja. Muram. Tak ada acara menjamu alam seperti sore-sore sebelumnya. Tak ada lembayung jingga di ufuk barat. Kelam. Semuanya tampak dipenuhi kabut.

Menatap butiran Kristal air yang turun berirama dari balik pintu kaca selebar 1x2m. hatiku dihinggapi rasa rindu. Rindu yang teramat pada sosok Kaze. Sosok yang beberapa minggu terakhir selalu menemani sisa waktu sebelum malam menjelang. Sosok yang selama ini aku yakini begitu dekat denganku bahkan sebelum pertemuan 22 Januari lalu. Dan sosok itu kini menghilang. Kaze telah pergi meninggalkanku sendiri.

Namanya adalah Damara Aditya. Itulah nama Kaze yang sebenarnya. Sama seperti namaku, Diandra Aditya. Ya. Aditya memang nama belakang aku dan Kaze, seharusnya aku menyebutnya kakak. Begitu seharusnya. Tapi aku terlambat menyadarinya.

Sebuah naskah dengan judul ‘Menari Bersama Angin’ tergeletak lusuh di pangkuanku. Beberapa lipatan menghias di permukaannya., karena genggaman tanganku yang terlalu kencang meremasnya.

“Kak, aku akan membuat sebuah pementasan drama. Kakak bersedia membantuku menyusun naskahnya? Aku menjadi Angin, peran utama dalam cerita itu.” Percakapan satu tahun silam menggema di telingaku.

“Hmm, kalau kamu menjadi Angin, maka aku adalah Kaze, sang angin pula. Kita akan sama-sama menjadi angin dalam cerita yang akan kita buat.” Ucap Kaze kala itu, bersemangat.

Aku terenyuh dalam alam bawah sadarku. Melayang ke masa silam, saat masih bersama Kaze. Mengingatnya selagi aku masih mampu. Dan bila nanti suatu saat aku kembali kehilangan ingatanku, aku tak perlu cemas memikirkannya. Karena dia adalah bagian dari jiwaku.

Angin dan Kaze. Kami sama. Aku akan tersenyum seperti yang selalu dia lakukan.. mungkin aku melupakannya dalam pikiranku.. Aku tahu Kaze akan selalu ada dan tetap ada di dekatku.

“Biarkan angin tetap ada. Meski raganya telah tiada.” Desahku pada angin lain yang sedang berhembus di dimensi biruku.[MR_3.3.11_23:07]

•••●○●•••

Antara Diya dan Dhiya

Antara Diya dan Dhiya, ada jarak yang terbentang.
Antara Diya dan Dhiya, ada sejarah yang terukir.
Antara Diya dan Dhiya, ada luka yang tertoreh.
Antara Diya dan Dhiya, ada bahagia yang terselip.

Antara Diya dan Dhiya, tidaklah sama.
Antara Diya dan Dhiya, sungguhlah berbeda.
Antara Diya dan Dhiya, sebuah perbedaan dalam kesamaan.

Antara Diya dan Dhiya, dua kisah tercipta.
Antara Diya dan Dhiya, dua cerita tersuguhkan.
Antara Diya dan Dhiya, menjadi satu dalam jiwa.

Antara Diya dan Dhiya, begitu banyak airmata tercurah.
Antara Diya dan Dhiya, tak sedikit senyum terkembang.
Antara Diya dan Dhiya, senyum berbaur dalam airmata.

Lalu antara Aku, Diya dan Dhiya, seuntai rasa hadir.
Terlahir dari pencarian ketulusan hati yang mencoba memaknai apa itu cinta.




15:25
3.7.11