Jumat, 24 Juni 2011

Mendung di Dalam Mega

Aku adalah Mega. Segumpal awan hitam di hamparan langit. Yang tak pernah bersinar dan tak pernah menangis.

Aku adalah Mega. Selalu mendung. Selalu sendiri. Dan namaku adalah Mega.

~***~

Hari ini, tepat di hari ulang tahunku yang ke-17. Aku melewatinya seperti hari-hari biasa. Tak ada ucapan selamat ataupun acara potong kue. Mungkin bagi orang lain, saat seperti ini adalah saat terindah. Saat bersenang-senang dengan teman untuk menikmati ingahnya kehidupan remaja. Tapi bukan cerita itu yang ku jalani saat ini. Bukan pula masa seperti itu yang ku rasa selama ini. Menurutku, setiap hari adalah sama. Tak ada yang berbeda. Sweet Seventeen-ku tak berarti. Bahkan bisa di katakan menyedihkan.

Hingga di usiaku yang ke-17, aku tak punya sahabat. Teman pun tak ada. Yang aku punya hanyalah seorang ibu, itupun kau tak merasakan kehadirannya. Dan, seseorang yang dulu pernah mewarnai kisahku, tapi kini dia telah pergi jauh. Meninggalkan aku hingga ke alam sana.

Dan lagi-lagi aku sendiri. Karena kau adalah Mega. Mega yang kelabu.

~***~

Matahari bersinar seperti biasanya. Dan sinarnya yang terik mengisahkan ia selalu bahagia. Tak seperti diriku saat ini. Tak bersinar. Cahayaku redup diantara cahaya-cahaya yang lain.

Kini aku sedang duduk sendiri di sudut ruang kelas. Aku tak dapat berkutik dari keadaan seperti ini. Aku seakan terpenjara dalam duniaku. Sendiri. Sehingga aku tak bias terbang bebas merasakan indahnya dunia yang lain.

Aku hanya bisa memandang semua yang terjadi disekitarku dari titik dimana aku berada saat ini. Aku malihat di sudut depan kelas, sekelompok siswi sedang asyik membicarakan sesuatu. Entah itu tentang fashion atau tentang gossip terbabu di sekolah ini. Sementara itu, di sudut yang lain, beberapa siswa tengah bernyanyi riang menyanyikan lagu-lagu populer.

Dan tuk kesekian kalinya. Aku sendiri. Sendiri di tengah keramaian. Semuanya ku rasa tak ada disini. Mati. Karena sekali lagi. Aku adalah Mega. Yang tak ditemani mentari.

~***~

Tak seperti hari-hari biasanya. Untuk kali ini aku merasa tak menjadi mega. Tapi aku adalah awan putih di tengah-tengah kilau sang surya.

Aku bahagia karena hari ini aku mendapat pujian dari banyak orang, saat pelajaran Seni Budaya.

“Penjiwaan yang bagus, Mega. Kembangkan bakar seni yang adda dalam dirimu. Ibu yakin suatu saat nanti kamu akan menjadi pemain teater yang hebat.” Kata guru Seni Budayaku setelah aku selesai memainkan peran dalam pementasan teater sebagai tugas akhir semester.

“Mega, kamu keren banget. Aku suka.” Sahut Rea dengan nada antusias.

“Waah! Sepertinya kamu punya bakat jadi pemain teater yang terkenal, Mega. Akting kamu luar biasa.” Ujar Syisha tak mau kalah member pujian. Karena ia memang sangat mengerti tentang dunia pementasan dan akting.

Mendengar begitu banyak ucapan manis untukku, aku tersipu. Pipiku mungkin merah merona saat ini.

Untuk pertama kalinya aku sangat bahagia. Inikah indahnya hidup yang sesungguhnya? Ketika kita bisa bersama dengan teman-teman. Ketika aku bukanlah Mega yang tak bersinar.

~***~

Ternyata, kebahagiaan yang baru beberapa hari aku rasakan, kini tak tersisa. Sedikitpun tidak. Semuanya lenyap. Kehidupanku kembali seperti biasanya. Berwarna kelabu.

Sehari setelah acara pementasan terater yang penuh pujian, teman tak ada yang mengajakku bermain bersama. Mereka sibuk denagn dunianya masing-masing. Aku seakan tak ada di tempat dimana aku menghabiskan waktu lebih dari 7 jam dalam sehari.

Warna hangat kebersamaan yang beberapa waktu ku alami berubah menjadi suasana hening. Dan aku kembali menjadi Mega. Mega yang tak berwarna.

~***~

Setelah hampir 1 tahun aku menghuni kelas ini. Menjalani hari-hari dengan para penghuni yang lain. Ku kira mereka sudah mengerti diriku. Tapi aku salah menerka. Mereka sama sekali belum memahami perasaanku. Aku kecewa.

“Hai Mega! Aku dengar, kamu anak brokenhome ya? Ayahmu mati dalam kecelakaan mobil karena saat mengendarai mobil, Ayahmu bertengkar hebat dengan Ibumu soal perselingkuhan yang dilakukan Ayahmu dengan adik Ibumu, akhirnya terbongkar!?” Ucap Resti ketika aku baru memasuki kelas.

Aku merasa anak-anak yang lain menertawakanku. Seolah kisah pahit hidupku itu sebuah lelucon yang lucu. Suami selingkuh dengan iparnya sendiri!? Huft… lucu sekali.

Anak yang lain pun ada yang ikut menyahut perkataan Resti yang tadi, “Wooou, keren! Bisa-bisanya seorang suami main serong dengan adik kandung istrinya. Kalau aku sih ya, malu banget tuh punya bapak yang kelakuannya seperti itu. Mau taruh dimana mukaku ini?!?. Hhahaha.”

Aku semakin kecewa karena tak satu pun dari mereka yang dapat bersikap bijaksana. Semuanya masih asyik tertawa. Menertawakan diriku ajuga keluargaku.

Kali ini, Mega berubah menjadi hujan lebat. Aku menangis. Lebih tepatnya menangisi crita hidupku yang kelam.

~***~

Aku pikir peristiwa memalukan saat itu akan terlupakan dengan sendirinya oleh anak-anak. Layaknya hembusan angin lalu yang sesaat. Lenyap dan pergi begitu saja. Namun kembali aku salah menilai. Mereka bahkan semakin menjauh dariku. Mereka masih saja memperbincangkan kenyataan pahitku.

Aku yang selama ini diam, mulai terjadi gemuruh di hatiku. Aku meronta pada diriku sendiri. Aku tak bias berbuat apa pun. Aku benci keadaanku yang seperti ini. Aku marah. Hingga saat ini aku tak lagi sebagai awan hitam. Tapi telah menjelma menjadi kilatan petir.

~***~

Lama sudah aku mencoba tak memperdulikan sikap mereka padaku. Lebih baik aku menjadi mega. Mega yang tak bersinar seperti mentari. Ataupun mega yang berubah menjadi hujan lebat disertai kilatan petir.

Andai saja mereka mengerti. Tak selamanya air itu tenang. Tak selamanya angin itu lembut. Jika saja mereka nemahami air tenang dapat berubah menjadi gelombang tsunami besar yang dapat menelan ribuan jiwa. Angin lembut dapat berubah menjadi badao dahsyat yang bisa menerbangkan segala sesuatu yang ada di dekatnya.

Tapi mereka tak mengerti. Meraka tak mau memahami. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri. Selalu memikirkan hidupnya. Dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Uh…! Aku tak tahu isi kepala mereka.

Andai ku bisa merasakan kebahagiaan. Andai ku tak terbelenggu. Terkurung dalam diriku sendiri. Ingin kurasakan arti sebuah ketulusan bersahabat. Saling berbagi cerita dan saling mengerti.

Sayangnya, aku adalah Mega. Tak bisa menjadi pelangi yang berwarna. Apalagi menjadi mentari yang bersinar terang. Karena aku tetap Mega. Dan di dalam Mega ada mendung yang setia menemani, mengisi lembaran buku kehidupan Mega.[MR_19.3.09_21:06]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar